SHARE
Erupsi Shinmoedaka pada 2011 yang tertangkap oleh instrumen MERIS pada ESA's Envisat satellite. Foto (Wikimedia Commons/ESA/CC-BY-SA-3.0ESA)

Erupsi vulkanik sudah diketahui lama dapat menyebabkan terjadinya gempabumi. Aktivitas naiknya magma melewati kerak bumi diketahui dapat menyebabkan gempa vulkanik. Namun bagaimana dengan gempa tektonik? Apakah gempa tektonik dapat menyebabkan terjadinya erupsi gunungapi?

Sudah lama para ilmuwan mencari korelasi yang kuat antara gempa tektonik dan erupsi gunungapi. Banyak juga peristiwa yang mengindikasikan gempa tektonik dapat meningkatkan aktivitas gunungapi di sekitarnya.

Pada bulan mei 2006, gempa tektonik dengan magnitudo 6,4 mengguncang Pulau Jawa di sekitar Jogja. Beberapa hari setelahnya, terjadi perubahan intensitas dua gunungapi, yaitu Merapi dan Semeru. Andrew Harris, ilmuwan dari University of Hawaii & yang melakukan pengamatan satelit, mengatakan juga bahwa emisi lava meningkat dua sampai tiga kali. (link : livescience.com)

Kejadian lain terjadi pada 29 november 1975. Gempa dengan magnitudo 7,2 terjadi di Hawaii yang langsung diikuti oleh erupsi kecil dan singkat dari Gunungapi Kilauea. Pada kasus ini, bidang patahan tempat gempa terjadi berada langsung di bawah Gunungapi ini.  (link : usgs.gov)

Contoh lain terjadi di Chile. Pada 22 Mei 1960 terjadi gempa dengan magnitudo 9,5. Ini merupakan gempa terbesar yang pernah tercatat. Sekitar 38 jam setelah gempabumi ini terjadi, Puyehue-Cordon Caulle meletus dengan hebat setelah tidak aktif selama 25 tahun. Ilmuwan juga percaya bahwa retakan patahan berada di bawah gunungapi ini. (link : usgs.gov)

Kemungkinan hubungan antara gempa tektonik dan erupsi vulkanik telah lama diajukan teorinya oleh Charles Darwin. Ketika melakukan perjalanan ke Chile pada 1835, Darwin melaporkan bahwa setidaknya ada tiga gunungapi yang meletus setelah gempabumi dengan magnitudo 8,5 terjadi di wilayah itu. Hal ini didukung oleh Sebastian Watt setelah melakukan pengamatan seksama terhadap catatan sejarah. Sebastian menemukan bahwa aktivitas vulkanik meningkat setidaknya setahun setelah setiap gempa sangat besar terjadi di Chile bagian selatan. Fenomena ini terjadi, berdasarkan pengamatan Sebastian, dalam 150 tahun terakhir.  (link : sciencedaily.com)

Paparan di atas menunjukkan korelasi kuat antara kejadian gempa tektonik dan peningkatan aktivitas vulkanik dari sisi dekatnya waktu keduanya terjadi. Namun pembuktian secara teknis tentang hubungan keduanya masih memerlukan penelitian yang mendalam.

Bagaimana gempa tektonik mempengaruhi aktifitas gunungapi?

Sampai sekarang belum diketahui secara pasti bagaimana gempa tektonik mempengaruhi aktifitas gunungapi. Tetapi setidaknya para ahli memiliki tiga pendapat bagaimana gempa tektonik mempengaruhi aktifitas gunungapi. Berdasarkan USGS (link), ada tiga kemungkinan bagaimana gempa tektonik mempengaruhi aktifitas gunungapi :

  1. Adanya perubahan tekanan pada saat terjadi gempa besar. Perubahan tekanan ini dapat berupa pengkerucutan atau pengembangan reservoir magma. Pengkerucutan reservoir ini akan meningkatkan tekanan sementara pengembangan reservoir akan menyebabkan rekahan pada reservoir magma.
  2. Gelombang seismik dengan amplitudo yang tinggi yang melewati magma kemungkinan dapat menyebabkan nukleasi dari gelembung-gelembung di dalam magma. Nukleasi pada magma ini akan menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam magma. Selain itu, gelombang seismik juga dapat mengganggu lapisan magma yang sebelumnya telah stabil. Hal ini dapat menyebabakn naiknya lapisan magma kaya gas ke atas lapisan magma yang miskin akan gas.
  3. Getaran bumi saat gempa dapat menyebabkan tanah longsor, retakan, dan gangguan tanah lain yang dapat mempengaruhi reservoir magma.

Penemuan Berbeda

Ada penemuan menarik yang didapat oleh Matthew Pritchard serta satu tim dari Jepang Youchiro Takada dan Yo Fukushima. Keduanya mendapatkan hasil yang berlawanan mengenai efek dari gempa tektonik terhadap aktivitas gunungapi. Pengamatan mereka menemukan bahwa gunungapi mengalami penurunan (subsiden) ketimbang kenaikan (uplift) setelah terjadinya gempa besar.

Pritchard melakukan penelitian terhadap beberapa gunungapi di southern volcanic zone Amerika Selatan. Penelitian ini menggunakan Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) dan juga nigth-time thermal infrared untuk mengamati deformasi dan aktifitas termalnya. Hasilnya, Pitchard dan tim menemukan subsiden hingga 15 cm pada lima area gunungapi dalam seminggu setelah gempabumi. Namun tidak terdeteksi adanya perubahan termal. (link : nature geoscience)

Sementara Youchiro Takada dan Yo Fukushima melakukan pengamatan untuk wilayah yang terkena gempa Tohoku tahun 2011. Hasilnya, keduanya menemukan subsiden sekitar 5 sampai 15 cm pada daerah yang berjarak 150  hingga 200 km dari lokasi retakan. (link : nature geoscience)

Kedua tim peneliti ini berbeda soal sebab terjadinya subsiden. Tim Pritchard mengemukakan kemungkinan terjadinya subsiden akibat perubahan aliran hidrotermal pada rekahan-rekahan sekitar gunungapi. Sementara tim dari Jepang berpendapat subsiden dipengaruhi oleh perubahan kantung magma di bawah gunungapi.

Yang jelas gempabumi pasti berpengaruh terhadap deformasi kerak bumi yang juga akan mempengaruhi aktifitas gunungapi di sekitarnya. Apalagi sistem ring of fire Asia-Pasifik menunjukkan bahwa gempabumi terjadi di wilayah subduksi yang juga tempat tumbuhnya gunungapi. Yang menjadi pertanyaanya adalah bagaimana gempabumi ini mempengaruhi aktivitas gunungapi sekitarnya? Pertanyaan ini penting untuk dicari jawabannya sehingga ketika gempa besar terjadi di wilayah yang ramai gunungapinya, kita dapat menentukan sikap. Apakah meningkatkan kewaspadaan terhadap gunungapi sekitar atau tetap tenang? (gaj)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.