
Eropa dilanda kejadian aneh tahun itu. Siang hari langit menjadi gelap. Gagal panen terjadi dimana-mana hingga berujung menjadi kelaparan terparah di abad kesembelian belas. Kerusuhan terjadi di banyak kota di Eropa. Wabah penyakit juga menyebar pesat . BBC menyebut 200 ribu nyawa menjadi korban di tahun itu, dua kali lipat dari biasanya. Bahkan Napoleon kalah dalam pertempuran di Waterloo, karena salah prediksi kondisi cuaca. Bukan salah sepenuhnya Napoleon, memang alam pada saat itu tidak terduga. Tahun 1816 adalah tahun gelap bagi Eropa, Tahun Tanpa Musim Panas (Year Without Summer).
Tahun gelap di Eropa ini menginspirasi Lord Byron menulis puisi “Darkness”, menggambarkan gelapnya Eropa waktu itu. Mary Shelley juga mendapat inspirasi dari kondisi mencekam ini, dia menulis novel yang juga mencekam, Frankenstein. Sunset jingga pada tahun itu juga menjadikan J. M. W. Turner melukis Chischester Canal circa. Hari-hari gelap ini juga menjadi inspirasi banyak seniman mengekspresikan kondisi mencekam waktu itu.
Apa sebenarnya yang menjadi sebab kondisi gelap eropa ini? Jawabannya ada ujung tenggara Indonesia (dulu masih wilayah kekuasaan Belanda), lebih dari 10 ribu Km jauhnya dari London. Jawabannya adalah erupsi Gunung Tambora. Pada April di tahun 1815, Gunungapi Tambora meletus dengan dahsyat.

Tambora yang berada di Sumbawa mulai meletus pada 5 April 1815 dan mencapai puncaknya pada 10-11 April. Dentuman Tambora ini, menurut catatan Junghuhn, terdengar hingga Batam dan juga Sulawesi. Gempanya terasa hingga Surabaya. Pagi harinya di tanggal 6 April, abu vulkaniknya mulai jatuh di Jawa Timur sekaligus membawa kegelapan hingga Batavia. Tanggal 12 April, sungai besar di Gresik dan Banyuwangi naik 4 kaki dari biasanya. Diperkirakan Tambora melepas material vulkanik lebih dari 100 km kubik, menjadikannya mendapat level 7 (skala 8) dalam Volcanic Explosivity Index (VEI). Letusan Tambora ini empat kali lebih besar dari letusan Krakatau di tahun 1883. Tambora menjadi salah satu erupsi gunungapi paling besar yang tercatat dalam sejarah.
Erupsi Tambora ini memakan banyak korban baik langsung maupun tidak langsung. Lebih dari 90 ribu nyawa melayang akibat letusan Tambora. Dua belas ribu nyawa melayang akibat langsung dari letusan dan puluhan ribu lainnya karena akibat tidak langsung, gagal panen, kelaparan, wabah penyakit, dan lain sebagainya. Junghuhn mengatakan seandainya Sumbawa pada waktu itu adalah kota maju seperti di Eropa, tentu korbannya akan lebih banyak.
Erupsi ini bahkan menyebabkan hilangnya tiga kerajaan yang ada di Sumbawa waktu itu. Kerajaan yang menjadi korban ganasnya erupsi Tambora adalah Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar. Banyak terjadi pengungsian akibat letusan itu. Salah satu catatan mengatakan bahwa putri Raja Sanggar bahkan mati karena kelaparan.
Raffless, Gubernur Jenderal Hindia Belanda masa itu, mengira suara letusan ini adalah bunyi meriam dari musuh. Dalam catatannya di tahun 1930 dia menceritakan bahwa ada pasukan yang berangkat dari Jogja untuk berangkat memeriksa. Namun, musuh yang dicari-cari tidak ditemukan, tentu saja.
Sigurdsson, vulkanolog dari Amerika, memperkirakan angin bertiup realit dari timur ke barat pada waktu itu. Inilah yang menyebabkan material vulkanis yang terlempar menembus stratosfer ini melayang hingga ke Eropa. Abu vulkanik yang melayang di stratosfer inilah yang menghalangi sinar matahari menembus hingga ke bumi, menyebabkan terjadinya musim dingin vulkanis. Abu vulkanik inilah yang menjadi penyebab tahun tanpa musim panas di Eropa dan Amerika Utara. Maka tak salah Willen D’Arcy Wood memberi judul bukunya “Tambora : Eruption That Changed the World” yang saya pinjam juga sebagai judul tulisan ini.
Gunungapi, bagi Indonesia, adalah masa lalu, masa sekarang, dan juga masa yang akan datang.
Gunungapi, bagi Indonesia, adalah masa lalu, masa sekarang, dan juga masa yang akan datang. Di masa lalu, kita menyimpan cerita tentang tiga erupsi gunungapi besar dalam sejarah, Toba 75 ribu tahun lalu, Tambora di tahun 1815, dan Krakatau di tahun 1883. Sekarang kita hidup berdampingan dengan puluhan gunungapi aktif sepanjang lebih dari 3000 Km dari ujung utara Sumatera hingga ke Banda. Dan di masa yang akan datang bukan tidak mungkin puluhan gunungapi ini menemukan momentumnya untuk mengeluarkan isi perutnya. Momentum 200 tahun meletusnya Gunung Tambora ini mudah-mudahan jadi pengingat kita untuk selalu bersiaga menghadapi segala macam kemungkinan. Siapkah kita?