Geologist Pertama Indonesia

Pernahkah anda memikirkan apa yang membuat seseorang melakukan sesuatu yang belum pernah orang lain lakukan? Ya, menjadi yang pertama.

Mari sejenak kita coba bayangkan: apa yang Alfred Wagener pikirkan saat merekonstruksi teori continental drift dan plate tectonic yang saat ini banyak menjadi acuan dari perkembangan ilmu tektonika lainnya. Ataupun motivasi apa yang membawa Ibnu Majid membuat alat navigasi pertama bernama kompas – yang hingga kini menjadi senjata utama geologist.

Itulah keistimewaan menjadi orang yang pertama. Sejarah hanya mencatat siapakah orang yang pertama. Siapakah yang pertama mendarat ke Bulan? Kita pasti serentak menjawab: Neil Amstrong. Siapakah yang kedua, ketiga? Hening. Tak banyak yang mengetahui.

Lantas duhai para Geologist, sudahkah kita mengenal Siapakah sosok Geologist pertama Indonesia

Ialah beliau Bapak Soetaryo Sigit –mengenyam pendidikan sarjana di Jurusan Geologi FIPIA UI (sekarang ITB). Dibawah bimbingan Prof. Dr. D. De Ward – ahli petrologi dari Negeri Kincir Angin, beliau merampungkan studinya, menjadi geologist pertama Indonesia.

Bagi rekan-rekan geologist yang saat ini berkancah di dunia pertambangan sudah pasti tidak asing dengan kisah dan sepak terjang Bapak Soetaryo Sigit. Beliaulah garda terdepan pertambangan Indonesia pada era 1960an hingga 1980an. Pencetus sistem kontrak karya yang kemudian menggairahkan investasi batubara, menciptakan babak baru pertambangan Indonesia. [1]

Maka mari kita simak hikmah yang tersampaikan dalam setiap perjalanan kehidupan Bapak Soetaryo Sigit.

No pressure, no diamond

Gong – panggilan Sigit muda hidup dalam lingkungan yang sederhana. Kesederhanaan yang terpancarkan hingga ia menduduki jabatan sebagai Direktur Jendral Pertambangan Umum. Sigit sangat berdedikasi dalam mengerjakan segala kewajibannya dan lemah lembut terhadap siapa saja. Tak heran darah pengabdian sang ayah yang berprofesi sebagai pamong praja di masa pemerintahan Belanda mengalir dalam dirinya. Kelembutan hati Gong merupakan hasil didikan sang ibunda yang tiada pernah letih merawat Gong dan 12 saudaranya dengan kasih sayang.

Gong tumbuh di pedesaan. Memancing dan menjelajah alam menjadi rutinitas yang ia sukai. Hingga kemudian Jepang mengekspansi ke Indonesia saat perang dunia ke-2. Kacau. Tentara Jepang jauh lebih kejam dari Belanda. Memeras habis rakyat untuk memenangkan pertempurannya melawan Sekutu. Hal ini berimbas pada Gong dan kawan seusianya. Rutinitasnya berganti menjadi rangkaian latihan militer sepulang sekolah. Saat Jepang kalah, Sekutu berebut ingin kembali masuk ke Indonesia. Pertempuran terus berkecamuk. Keluarga Gong terpencar mencari tempat perlindungan. Ayahnya belum lama wafat. Inilah masa terberat bagi Gong dan keluarganya.

Perlawanan rakyat bermunculan di berbagai daerah. Gong tak ketinggalan bergerak. Dipertengahan masa sekolahnya, Gong memutuskan bergabung dengan para gerilyawan. Hidup di hutan dan pedalaman. Melawan Sekutu. Setelah Sekutu kalah dan meninggalkan Indonesia, Gong kembali menempuh pendidikan SMA di Madiun. Melawan ketertinggalannya untuk menamatkan studinya.

Maka bagi kita yang terlampau cepat lelah dan berputus asa, dari sosok Gong kita menghikmahi bahwa kerasnya kehidupanlah yang membentuk kekuatan diri untuk menjawab tantangan kehidupan sesuai dengan era dan masanya.

Menemukan Geologi

Sigit sangat suka menggambar. Ia bercita-cita menjadi seorang Arsitek. Namun sayang, saat itu belum ada jurusan Arsitek di Fakultas Teknik di Bandung, maka terpaksa Sigit masuk Jurusan Mesin. Tak bisa lebih dari dua pekan Sigit bertahan, lantas merasa salah jurusan.

Saat melempar pandangan, Sigit membaca papan pengumuman: Dibuka Jurusan Geologi, studi yang belum ia ketahui sebelumnya. Berbekal pada hobinya memancing dan bermain di alam, Sigit memutuskan mendaftar ke Jurusan Geologi yang baru berusia satu tahun. Pada tahun pertama, 2 orang mendaftar namun keduanya gagal, tak sampai tujuan. Bukan berarti jumlah mahasiswa kala itu tak banyak. Mahasiswa Jurusan Sipil dan Mesin ratusan jumlahnya. Hanyasaja, Geologi belum sepopuler kini. Pada perjalanannya, Sigit mulai menemukan irama dan menyukainya. Sigit dan ketiga rekannya Johannas, Katili, dan Sartono berhasil menjadi sarjana Geologi dan kemudian berkancah pada ranahnya masing-masing.

Maka dari sepenggal bagian ini kita memahami bahwa passion bukanlah satu-satunya tolak ukur. Ada usaha dan kerja keras yang menyertai setiap pencapaian.

“The happiest, most passionate employees are not those who followed their passion into a position, but instead those who have been long enough to become good at what they do.” Ario Muhammad[2]

Menjadi Si Mata Satu di Negeri Orang Buta

Mandat menjadi geologist pertama tentu memberikan konsekuensi yang besar. Terlebih pada masa itu, perseteruan Indonesia dan Belanda memperebutkan Irian Barat mengakibatkan dipulangkannya semua tenaga ahli dari Belanda, termasuk para pengajar Jurusan Geologi FIPIA UI. Beban pekerjaan yang begitu banyak – terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di Negeri yang baru merdeka, hanya ditanggung oleh segelintir orang membuat Sigit tidak dapat melanjutkan studi doktoralnya. Menteri Chairul Saleh yang langsung melarangnya dan meminta Sigit menjadi Kepala Jawatan Geologi.

In het land der blinden is een oog koning “Di negeri orang buta, si mata satu adalah Raja”

Pada kelanjutan kisahnya begitu banyak kontribusi yang telah diukir oleh Soetaryo Sigit khususnya bagi kemajuan pertambangan Indonesia. Ekspedisi di Pulau Laut dan Sebuku untuk mengetahui prospek batubara. Mendirikan Akademi Geologi dan Pertambangan (AGP) serta Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Melakukan Ekspedisi Cenderawasih yang begitu menguras tenaga. Hingga menciptakan terobosan-terobosan birokratif yang menghidupkan gairah investasi sebagai babak baru dari kemajuan pertambangan Indonesia.

Kisahnya mengilhami kita bahwa geologist memiliki peran yang penting untuk bangsa pada aspek yang luas.  Bagi kita yang mungkin khawatir dengan kompetisi masa kini “akan mengambil ranah di mana”, maka mari kita berkolaborasi untuk menciptakan wadah-wadah kontribusi, untuk menyambut tantangan yang tak ada habisnya, untuk mengelola sumber daya negara dan juga kesejahteraan masyarakatnya.

Selamat berkontribusi.

Kisah indah ini direkam dengan sangat lengkap oleh Ratih Poeradisastra dan Bambang Haryanto dalam buku biografi : Soetaryo Sigit ; Membangun Pertambangan untuk Kemakmuran Indonesia [3]

Cover Soetaryo New R2.indd
Cover buku Biografi Soetaryo Sigit (sumber : http://www.penerbitkpg.id)

Referensi

[1] https://www.tambang.co.id/soetaryo-sigit-orang-sakti-pertambangan-indonesia-14279/

[2] https://ariomuhammad.com/2016/11/29/follow-your-passion-is-a-bad-advice/

[3] Poeradisastra, R. dan Haryanto, B.2016. Soetaryo Sigit; Membangun Pertambangan untuk Kemakmuran Indonesia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

Maghfira Abida

Volcanology and Renewable Energy enthusiast | karena perjalanan akan mempertemukan orang-orang dengan tujuan yang sama, mari kita bertemu

More From Author

Konflik Lawu : Dimanakah Peran Geologist ?

CATATAN PERJALANAN : MENELUSURI PENINGGALAN VULKANISME MERATUS DI SELATAN JAWA BAGIAN BARAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dengan Belajar Geologi kami ingin menginspirasi masyarakat untuk mengenal lebih dalam mengenai bumi yang mengagumkan ini.