Kala Anthropocene, Fakta Ilmiah atau Sekedar Budaya Pop?

1024px-Tagebau_welzow_sued
Aktfitas Penambangan manusia yang mengubah lansekap alam (kredit gambar : Z Thomas; commons.wikimedia.org)

Manusia telah menjadi faktor perubahan geologi yang signifikan di Bumi. Manusia banyak melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi oleh faktor-faktor lain. Misalnya mengubah suatu gunung menjadi sebuah lubang raksasa, mencemari laut, dan menyebabkan punahnya spesies lain. Hal lain yang banyak diyakini adalah meningkatnya emisi gas kaca di atmosfer yang juga dipercaya menjadi penyebab perubahan iklim. Perubahan-perubahan signifikan pada bumi akibat aktifitas manusia ini memunculkan ide untuk memasukkan “Anthropocene” sebagai kala baru dalam skala waktu geologi.

Istilah Anthropocene berasal dari “anthropo” yang berarti “manusia” dan juga “cene” yang berarti “baru”. Istilah ini dipopulerkan pada tahun 2000 oleh Paul Josef Crutzen, seorang ahli kimia dan meteorolog dari Belanda.

Saat ini International Union of Geological Sciences (IUGS) menempatkan holosen (holocene) sebagai kala kita saat ini. Kala ini dimulai pada 11.700 tahun lalu saat berakhirnya zaman es terakhir. Sebagian pakar menganggap penggunaan kala holosen ini sudah usang karena berbagai macam alasan yang disebut sebelumnya. Namun IUGS menargetkan pada 2016 akan ada keputusan mengenai perlu atau tidaknya memasukkan “Anthropocene” sebagai kala baru dalam skala waktu geologi.

Debat banyak terjadi pada berbagai hal seperti penentuan kapan kala ini dimulai, peristiwa apa yang menandai dimulainya kala ini, dan juga yang paling penting adalah apakah kita sudah benar-benar memasuki konsep kala Anthropocene ini. Will Steffen pernah mengusulkan revolusi industri pada awal 1800an atau zaman bom atom pada sekitar 1950an sebagai penanda dimulainya kala ini.

Tidak semua ahli sepakat pada konsep ini. Pernyataan menarik disampaikan oleh Whitney Autin, seorang stratigrafer dari SUNY College of Brockport. Autin mengatakan bahwa istilah “Anthropocene” lebih kepada istilah budaya pop ketimbang ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.

Bagaimana pendapat kawan-kawan semua? Apakah sudah waktunya memasukkan istilah ini pada skala waktu geologi? Atau pertanyaan pentingnya apakah memang sudah begitu besarnya pengaruh manusia terhadap bumi hingga sangat perlu memasukkan istilah ini? Mari berdiskusi, silakan berikan komentar di kolom di bawah ini.

Gamma Abdul Jabbar

Salah satu pendiri Belajar Geologi. Studi masternya diselesaikan di Hokkaido University dengan tema magma plumbing system Gunung Barujari di Komplek Gunungapi Rinjani. Sekarang sering jalan-jalan dan foto-foto.

More From Author

7 rahasia sukses mapping menyenangkan

Kelangkaan Ada, Tapi Tidak Pernah Ada Kekurangan Energi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dengan Belajar Geologi kami ingin menginspirasi masyarakat untuk mengenal lebih dalam mengenai bumi yang mengagumkan ini.