Oleh: Maghfira Abida

EKSOTISME GUMUK PASIR
Mengalir dari hulu hingga hilir, eksotisme pesona alam Indonesia terbilang lengkap. Panorama keindahan negeri di atas awan pada sepanjang busur gunungapi hingga hamparan pasir pesisir pantai, mengagungkan daulah negeri zamrud khatulistiwa ini.
Bagi para pecinta wisata alam, tentu sudah mengetahui keberadaan salah satu eksotisme alam Indonesia di Kawasan Pantai Parangkusumo. Selain deburan ombak dan pantainya yang indah, Pantai Parangkusumo memiliki gumuk yang dapat memanjakan kaki dengan deburan pasir layaknya berada di Timur Tengah. Wisata gumuk pasir memang telah populer di kalangan masyarakat. Para wisatawan biasa menggunakannya sebagai latar foto pernikahan, manasik haji, berselancar pasir atau sekadar berjalan-jalan mencari sudut terbaik untuk berfoto ria bersama kawan-kawan.
Bagi para pencinta dongeng geologi, keterdapatan gumuk pasir di Pantai Parangkusumo menjadi daya pikat tersendiri yang mengisahkan keunikan proses alam. Gumuk pasir yang sebagian besar terbentuk di daerah beriklim subtropis dan kering, kini hadir di atas bumi pertiwi dengan kondisi sebaliknya, beriklim tropis dan lembab.
Butiran pasir pada Gumuk Parangkusumo berasal dari hasil erupsi Gunung Merapi. Material hasil erupsi dan batuan sekitar Gunung Merapi kemudian dikikis oleh galur-galur sungai dan diangkut melewati Sungai Opak hingga bermuara ke bibir pantai. Sesampainya di hilir sungai, butiran pasir dihempaskan oleh angin laut yang membawanya kembali ke daratan. Proses pengangkutan oleh media angin inilah yang kemudian berperan dalam memilah butiran sehingga gumuk pasir memiliki sortasi yang baik. Ada waktunya sesuatu harus berhenti begitu saja. Saat angin yang membawanya telah kehabisan energi untuk mengangkut butiran pasir. Maka secara perlahan butiran pasir akan dijatuhkan ke bumi. Berkurangnya energi pada angin disebabkan oleh keterdapatan penghalang, baik berupa vegetasi ataupun pemukiman. Maka terjadilah pengendapan yang membentuk tubuh gumuk pasir.
KONSERVASI, HARUSKAH RELOKASI?
Beberapa tahun ini, isu konservasi laboratorium alam gumuk pasir kian santer terdengar. Degradasi dan kerusakan tubuh gumuk pasir memicu perseteruan di kalangan akademisi dan lembaga swadaya lingkungan. Aktivitas penambangan pasir dan penggunaan lahan sebagai media tambak dan pertanian termasuk aktivitas wisatawan menjadi pemicu dari kerusakan tersebut. Setelah mendapat perhatian, kini Perda mengenai Tata Ruang sedang dibahas oleh DPRD DIY.
Pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum pun telah mencoba merancang tata ruang area gumuk pasir dengan mengkategorikannya sebagai kawasan konservasi, kawasan terbuka hijau, hingga menyediakan area khusus kawasan pemukiman dengan radius yang cukup jauh dari kawasan konservasi.
Setelah melakukan peninjauan lapangan pada hari Rabu (26/3), ditemukan titik-titik lokasi penambangan yang menyisakan separuh tubuh gumuk di sekitar Stasiun Geospasial dan kawasan tambak di area pesisir.
“Sejauh mana persiapan edukasi dan sosialisasi dari kebijakan agar dapat diimplementasikan?”
Pertanyaan ini semakin bergelayutan dalam tanda tanya, setelah sesaat kemudian terlihat tugu larangan penambangan tertancap di bagian depan area ekskavasi. Masyarakat sekitar mengutarakan ketidaktahuannya terhadap konservasi yang dilakukan pemerintah. Dan mereka melakukan penambangan yang diperkuat dengan sertifikat tanah atas namanya.

Dari perjalanan ini penulis menyadari bahwa perencanaan ini tidak hanya melulu berkaitan dengan nilai konservatif (rekan-rekan perencanaan wilayah dan kota sudah tentu lebih memahaminya), tetapi juga melibatkan perlakuan terhadap masyarakat di dalamnya. Masyarakat yang terganggu oleh deburan pasir yang merusak lahannya, yang mengotori serambi rumahnya atau mengalami gangguan pernapasan karenanya. Barangkali sudah tidak menjadi menarik lagi bagi mereka, pesona deburan pasir yang terbawa angin sepoi-sepoi atau senja termaram bernuansa timur tengah.
Dalam pemikiran dangkal ini, terbesit untuk menggulirkan gagasan terkait dengan relokasi – menandingi proyek reklamasi di pantai sebelah. Tapi mungkinkah masyarakat semudah itu menyesuaikan dengan lingkungan yang baru, jenis mata pencaharian baru, pola bersosialisasi yang baru? Lebih – lebih proyek ini tak bernilai ekonomi, hanya sebatas konservasi. Seindah apapun harapan kita untuk mengkonservasi pesona alam ini, menyelamatkan laboratorium alam, lantas tidak mengabaikan kemaslahatan masyarakat yang tinggal bersamanya. Masyarakat yang lahir diatasnya. Masyarakat gumuk yang hidup dari bebijian yang tumbuh di antara butir pasirnya. Masyarakat membutuhkan pendidikan dan pencerdasan. Bukan tak mungkin kelak mereka sendiri yang memperjuangkan konservasi atas tanah kelahirannya.
Mengagumi, belajar dan lantas menginspirasi bahwa manusia dapat hidup selaras alam tempat tinggalnya.
Catanan penulis:
Perbedaan opini menjadi suatu kewajaran dalam menyikapi hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Perbedaan yang menjadi suatu keberagaman dan media untuk berlatih saling menghormati dan melengkapi. Dan tentunya, hipotesa akan semakin berkembang dengan ditemukannya fakta dan data baru.