
Pada tanggal 7 Februari 2008, seseorang bernama Flydime memotret terjadinya erupsi pada Gunung Anak Krakatau yang mencerminkan aktivitas eksplosif dengan ciri khas pelepasan asap dan debu piroklastik. Fenomena ini mengindikasikan adanya interaksi yang intens antara dan magma yang lebih dalam, menghasilkan reaksi freatomagmatik. Reaksi freatomagmatik ini dapat memicu adanya erupsi yang lain, contohnya erupsi magmatik seperti erupsi Vulcanian pada foto di atas.
Pada foto di atas, terlihat adanya letusan Vulkanian yang memperlihatkan adanya kolom erupsi yang membumbung tinggi. Pada letusan Vulkanian ini, material piroklastik yang terdiri dari fragmen batuan dan partikel-partikel kecil, ditembakkan ke udara dengan tenaga eksplosif akibat ledakan gas-gas vulkanik yang terperangkap dalam magma yang mendekati permukaan.

Lalu pada tanggal 6 Mei 2008, terjadi erupsi tipe Strombolian pada Gunung Anak Krakatau yang sempat dipotret oleh Thomas Schiet. Letusan tipe ini termasuk kedalam kategori eksplosif, namun memiliki energi lontaran yang relatif rendah sehingga material piroklastiknya hanya terlempar ratusan meter dari kawah.
Letusan Strombolian ini memiliki ciri khas, yaitu interval jeda ketika mengeluarkan lelehan magma memiliki waktu yang relatif sama. Dalam foto tersebut terlihat lava yang dihasilkan selama letusan jatuh menuruni lereng/kaki Gunung Anak Krakatau membentuk aliran pijar dan terlihat pula sedikit abu vulkanik disekitar kawah. Nah, lelehan magma tersebut loh yang nantinya akan memperluas struktur dan menambah ketinggian pada Gunung Anak Krakatau ini meskipun dalam skala yang relatif kecil. Diketahui saat itu tinggi dari Gunung Anak Krakatau sudah lebih dari 300 MASL (Meter Above Sea Level).