SHARE
gambar eko 9
pesona surga dunia di kedung tumpang (kredit gambar : eko prasetyo)

Oleh : Eko Prasetyo

Matahari masih bersembunyi dibalik peraduannya saat aku bersiap-siap dan berkemas untuk memulai petualangan ke Tulungagung. Bersama teman-teman satu camp, kami berencana menghabiskan akhir pekan untuk berekreasi ke Pantai Kedung Tumpang.

Tepat selepas subuh kami berangkat menggunakan elf yang sejak jam 4 pagi sudah menunggu di depan camp kami. Elf tersebut kami sewa untuk hitungan per orang sebesar Rp. 60.000 berisikan 16-17 orang sudah termasuk tiket masuk ke pantai, selama satu hari perjalanan dari kota Pare menuju Pantai Kedung Tumpang. Rekreasi yang murah meriah.

Perjalanan pun dimulai, diiringi doa dan senyum bahagia dari dalam kendaraan yang kami naiki. Sepanjang perjalanan, banyak canda dan cerita mengiringi perjalanan kami. Namun, aku lebih fokus kepada tujuan tempat rekreasi kami, bertanya-tanya dalam hati sebagus apakah pantai kedung tumpang yang banyak diceritakan orang itu.

Awalnya aku berfikir tidak akan ada yang menarik mengenai pantai yang akan aku kunjungi karena biasanya pantai hanya identik dengan pasir putih atau coklatnya dan beberapa desiran ombak.  Sudah satu setengah jam perjalan melewati beberapa kota dan kecamatan di Jawa timur, sampai pada akhirnya kami menepi sejenak untuk beristirahat di sebuah minimarket di kota Blitar. Aku membeli beberapa snack dan minuman sebagai bekal melanjutkan perjalanan yang masih beberapa jam kedepan.

Perjalanan Berliku

Selepas kota Blitar, pola jalan berubah yang tadinya lurus disisipi kelokan kecil, menjadi berkelok-kelok khas jalan perbukitan. Jalanan yang sempit mengharuskan dua kendaraan yang saling berpapasan menurunkan kecepatannya. Lumayan ekstrem, melihat tidak adanya rambu-rambu khusus dan pembatas jalan di kedua sisinya dan berhadapan langsung dengan tebing dan jurang. Sebenarnya inilah yang dicari, aroma petualangan yang menguji adrenalin di sepanjang perjalanannya. Semakin penasaran dengan lokasi pantai karena pada umumnya jalan pantai berada pada sebuah dataran rendah dengan elevasi 0 sampai 10 mdpl.

Lepas dari jalan perbukitan, elf melaju terus ke arah selatan hingga bertemu pasar Puser yang sedang ramai-ramainya ketika kami lewati. Beberapa menit kemudian kami sampai di sebuah warung dekat pertigaan untuk istirahat sejenak. Beberapa teman memutuskan untuk sarapan, beberapa yang lainnya mengambil kesempatan untuk buang air kecil dan hajat. Tak beberapa lama, dari pertigaan tersebut perjalanan dilanjutkan ke arah kiri. Ternyata panitia memutuskan untuk menuju pantai lumbung terlebih dahulu.

Kondisi jalanan berubah menjadi tanah berbatu diselingi turunan, tanjakan, dan kelokan yang tajam. Musim kemarau membuat kondisi jalan dipenuhi debu. Jika menggunakan motor, pastinya harus memakai masker agak debu tidak terhirup. Vegetasi yang dominan disana adalah tanaman jati yang sudah kering namun tetap tumbuh karena memang pohon jati tahan jika tidak ada air pada wilayah itu.

Kami juga melewati sebuah perbukitan Karst yakni perbukitan yang didominasi oleh batuan karbonat (CaCo3) yang terbentuk akibat faktor curah hujan, suhu, vegetasi, dan diaklas (rekahan yg merupakan jalur resapan air permukaan dalam pembentukan morfologi karst). Melihat kenampakannya ada beberapa macam bentukan dari karst baik secara solusional, residual ataupun deposisional. Bentukan solusional (solusional form) terdiri dari Dolin, Uvala dan Polje.

gambar eko 1
Salah satu momen berliku di menuju pantai lumbung, namun sekilas keindahan sudah mulai terlihat (kredit : eko prasetyo)

Dolin merupakan bentukan depresi/cekungaan yang terbentuk akibat proses pelarutan dengan ukuran beberapa meter sampai 1 km dengan kedalaman beberapa meter hingga ratusan meter. Karena bentuknya cekung maka dolin sering terisi oleh air hujan sehingga menjadi suatu genangan yang disebut sebagai danau dolin.

Uvala merupakan cekungan yang cukup luas yang terbentuk oleh gabungan beberapa danau doline. Polje adalah ledokan tertutup yang luas dan memanjang yang terbentuk akibat runtuhnya dari beberapa gua, dan biasanya dasarnya tertutup oleh aluvium.

Sedangkan bentukan residual (residual form) terdiri dari kubah karst dan menara karst. Kubah karst merupakan bentukan menyerupai kubah (dome) yang terbentuk akibat adanya sisa proses pelarutan batuan karbonat yang ada disekilingnya. Antara kubah karst dipisahkan oleh cockpit yang satu sama lain saling berhubungan. Selain dipisahkan oleh cockpit kubah karst juga dapat dipisahkan oleh dataran aluvial karst. Ciri-cirinya antara lain bentukan positif, membulat, dengan ketinggian seragram.

Menara karst merupakan bentukan positif yang merupakan sisa dari proses solusional. Menara karst memiliki lereng curam sampai tegak atau vertikal yang terpisah satu sama lain dan sebarannya lebih jarang. Bentukan yang terakhir adalah bentukan deposisional (depositional form) terdiri dari stalaktit, stalakmit, dan dataran aluvial karst. Stalaktit merupakan bentukan runcing yang menghadap ke bawah dan menempel pada langit-langit gua yang terbentukan akibat akumulasi batuan karbonat yang larut akibat adanya air. Stalakmit hampir sama dengan stalaktit akan tetapi posisinya berada di lantai gua menghadap ke atas. Dataran aluvial karst adalah bentukan deposisional dengan relief datar landai yang terdiri atar material aluvium.

Pantai Lumbung

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 3 jam, akhirnya kami sampai di pantai Lumbung. Secara administratif pantai Lumbung dan Kedung Tumpang terletak di desa Pucanglaban, Kecamatan Pucanglaban, Kabupaten Tulungagung. Lokasi pantai berada di selatan pulau Jawa yang memiliki ombak yang besar khas pantai selatan.

Menakjubkan, deru ombak yang saling berkejaran bersama air laut yang jernih memanjakan kami. Hamparan pasir putih berkomposisi kuarsa dan koral menambah keindahan dari salah satu pantai selatan terindah di Jawa ini. Kwarsa merupakan mineral yang berasal dari batuan sekitar yang terkena abrasi air laut, sedang koral merupakan mineral berasal dari endapan laut dangkal yang terbawa oleh gelombang ke arah pantai sehingga pasir yang berada di pantai ini bewarna putih cerah dan agak cokelat. Disamping itu pengaruh pecahan rumah siput atau kerang memberikan variasi warna seolah-olah seperti Kristal.

gambar eko 3
ceria di pantai lumbung (kredit : eko prasetyo)

Berbeda dengan pantai Kedung Tumpang yang terdiri dari tebing koral, Pantai lumbung ini merupakan pantai yang landai dan berpasir. Pantai ini merupakan sebuah teluk. Teluk pada pantai ini terbentuk akibat adanya batuan yang resisiten dan tidak resisten terhadap hantaman gelombang air laut atau ombak yang sangat kuat di pantai selatan pulau jawa. Batuan yang resisten terdapat pada sisi kanan dan sisi kiri sedangkan batuan yang tidak resisten berada di tengah. Batuan yang tidak resisten terhadap hantaman ombak lama-kelamaan akan hancur dan kemudian membentuk sebuah cekungan dan akhirnya menjadi sebuah teluk.

Setelah puas menikmati keindahan pasir putih kecoklatan dengan bermain dan berfoto ria, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan utama kami yaitu pantai Kedung Tumpang. Disinilah petualangan sebenarnya dimulai. Kami harus berjalan kaki ke arah barat selama kurang lebih 1 jam melewati bukit, deretan koral, hutan bakau, lalu bukit lagi.

Mulanya jalan menanjak dan menurun terlihat biasa saja, tapi ada beberapa lokasi yang mengharuskan kami melewati deretan karang-karang yang tajam. Jangan coba-coba melewatinya tanpa alas kaki, karena bisa saja karang-karang ini melukai telapak kaki.

Adapula trek dengan kemiringan lebih dari 600, tapi tidak perlu khawatir karena pengurus pantai telah menyiapkan semacam tali tambang agar memudahkan dalam mendaki. Semakin seru, persis seperti kegiatan outbond dalam suatu pelatihan ketangkasan.

Sampai di Tebing Karang Kedung Tumpang

Terbayarlah semua lelah, akhirnya kami sampai di Tebing Karang Kedung Tumpang. Maaf, aku lebih suka menamainya tebing karang daripada pantai karena posisi karang yang berada diatas ketinggian dari muka air laut. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, berbagai bentukan karst dapat dilihat disini terutama menara karst dan kubah karst.

gambar eko 7
Salah satu bagian di Kedung Tumpang

Tebing yang kira-kira memiliki ketinggian puluhan meter ini menunjukkan tingkat erosi yang rendah karena daya tahan atau kekerasan batu gamping yang tinggi. Dilihat dari peta geologi, daerah tersebut mempunyai tatanan stratigrafi yaitu Satuan Batu gamping Terumbu / Formasi Wonosari (Tmwl). Litologi tersusun oleh batugamping terumbu, batugamping berlapis, batugamping berkepingan, batugamping pasiran kasar, batugamping tufan dan napal, satuan ini berumur miosen tengah-miosen akhir.

Di daerah sekitaran bukit ini kelihatan kekeringan hal itu dikarenakan tingginya permeabilitas litologi ini yang mengakibatkan air dipermukaan sangat jarang. Sedikit ke arah Barat, disanalah letak kolam-kolam alami yang terbentuk akibat erosi oleh ombak laut dan pelarutan secara kimia dengan berbagai variasi kedalaman. Bentukan dolin sangat dominan dimana kolam-kolam  tersebut sangat jernih, cantik dan eksotis yang akan menggoda siapapun untuk berenang di dalamnya. Warna hijau dari tumbuhan lumut disekitar kolam menambah keindahan panorama bak negeri surga pada sebuah cerita dongeng.

Akan tetapi, sebelum berenang pastikan untuk memperhatikan kondisi air laut. Waktu yang tepat untuk berenang adalah disaat laut sedang surut, karena jika kondisi laut sedang pasang, maka ombak besar akan menghantam keras tebing karang dan tumpah kedalam kolam-kolam tersebut.  Jika kondisinya seperti ini maka akan berbahaya jika memaksakan untuk berenang, karena bisa jadi orang yang berada di kolam akan terseret ombak tersebut.

gambar eko 13
salah satu pesona yang ditawarkan di pantai kedung tumpang (kredit : eko prasetyo)

Aku jadi teringat ketika seorang bapak menanyaiku apakah aku membawa jeruk atau tidak saat di warung dekat pertigaan. Mungkin disana sudah menjadi mitos bahwa jeruk akan membawa kesialan bagi para pengunjung yang akan berenang di kolam alami tersebut. Percaya atau tidak ? tergantung keyakinan masing-masing.

Hari sudah mulai siang, rasa penasaran pun sudah terbayarkan, saatnya kami bersiap pulang. Kami tidak perlu mengambil jalan balik ke arah timur untuk kembali menuju elf karena memerlukan waktu yang lama dan  karena faktor fisik kami yang sudah mulai terkuras. Kami disarankan terus menuju arah barat, karena disana ada pintu keluar pantai yang lebih dekat.

Sebagaimana perjalanan sebelumnya, saat menuju pintu keluar, kami juga disuguhi trek yang mendaki. Cukup terjal, namun lagi-lagi disana terdapat tali tambang yang sudah dipersiapkan pengurus pantai. Setelah kira-kira 20 menit kami sampai di parkiran.

Disana sudah menunggu puluhan ojek untuk mengantar kami menuju elf yang telah dikoordinasikan untuk parkir di warung dekat pertigaan. Tarif ojek sebesar 10.000, harga yang cukup murah jika dibandingkan kita harus memutar jalan kembali. Lelah tapi menyenangkan, sampailah kami di warung dekat pertigaan. Setelah mandi, makan siang, dan shalat, kami berangkat pulang ke pare, kediri. Rekreasi, petualangan, dan edukasi menyatu dengan harmoni untuk memulai kembali aktivitas dikeesokan hari. (ep)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.