Dalam beberapa dekade ini, seiring dengan munculnya problematika perubahan iklim di berbagai belahan dunia, negara – negara maju mulai beralih menerapkan sistem green energy. Dua diantaranya, Jerman dan Denmark secara masif bersiap mengubah moda transportasi dan infrastruktur yang berbasis pada energi ramah lingkungan.
Perubahan trend ini, diharapkan dapat menstimulus Indonesia untuk turut berpartisipasi mengembangkan dan mengimplementasikan studi mengenai energi baru dan terbarukan(EBT). Selain sebagai upaya pelestarian lingkungan, pengembangan EBT di Indonesia menjadi bagian dari upaya mengikuti dinamika pasar energi di masa mendatang.
Jika menilik besarnya potensi alam, tidak hanya sebagai negara tropis yang menyimpan potensi energi matahari yang besar, Indonesia sebagai negara maritim juga memiliki potensi energi kelautan yang melimpah. Diantaranya, energi gelombang, energi pasang – surut, serta energi panas laut atau dikenal dengan istilah Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC).

(Chong, 2013)
Berbeda dengan energi panas matahari, energi panas laut memanfaatkan perbedaan temperatur antara air laut bagian permukaan dengan air laut pada kedalaman 250 m – 1000 m. Perbedaan suhu yang hanya berkisar 20oC digunakan untuk mengubah fluida menjadi uap bertekanan. Apakah bisa fluida teruapkan dengan perbedaan temperatur yang terlampau kecil? Pada mekanisme inilah diperlukan fluida yang memiliki titik didih sangat rendah, yang paling sering digunakan adalah Ammonia. Ammonia yang telah menjadi uap panas dimanfaatkan sebagai pemutar turbin pada generator dan kemudian akan dikondensasikan kembali menggunakan air pada kedalaman 250 m – 1000 m yang bersuhu rendah (5oC) sehingga terbentuk siklus yang kontinyu.
Jepang dan Amerika Serikat telah melakukan riset sedemikan majunya. Jepang sebagai negara yang tidak memiliki potensi energi panas laut lantas mengimplementasikannya dengan mendirikan fasilitas demonstrasi OTEC di Okinawa. Selangkah lebih maju, pada tahun 2015 Amerika Serikat telah mendirikan pembangkit listrik tenaga panas laut skala mikro yang dapat memproduksi 100 kW atau setara dengan pemenuhan kebutuhan listrik 120 rumah penduduk di Hawaii.
Menarik bukan jika dapat diimplementasikan di sepanjang area pesisir Indonesia yang selama ini hidup dalam kegelapan dan keterbelakangan akibat ketiadaan listrik?
Lantas, bagaimana potensi energi panas laut di Indonesia?
Rajagopalan dan Nihous (2013) membuat zonasi yang menggambarkan perbedaan suhu permukaan (pada kedalaman 20 m) dengan bagian bawah (pada kedalaman 1000 m) pada seluruh perairan laut di dunia. Zonasi tersebut menunjukkan bahwa perairan Indonesia bagian Timur yang berlanjut hingga Samudra Pasifik memiliki gradien suhu tertinggi sekaligus potensi energi panas laut terbesar. Quirapas, dkk (2015) mengestimasikan bahwa potensi energi panas laut Indonesia mencapai 57 GW yang artinya dua kali lipat lebih besar dibandingkan potensi energi panas bumi di Indonesia yang selama ini menjadi salah satu primadona EBT.

Selain karena beriklim tropis, besarnya potensi energi panas laut di Indonesia juga dikontrol oleh tatanan tektonik yang termanifestasi pada kondisi morfologi bawah lautnya. Terbentuknya laut dalam dan palung memberikan ruang bagi tubuh air untuk membentuk lapisan dengan gradien suhu yang paling besar atau disebut dengan lapisan termoklin. Hal ini pulalah yang menjelaskan, kemunculan gradien termal yang besar berada pada Indonesia bagian timur di mana terjadi penunjaman antara lempeng Samudra Pasifik dengan Lempeng Indo-Australia. Sedangkan pada Indonesia bagian barat terdapat potensi energi panas laut pada beberapa area di sepanjang zona subduksi bagian selatan Pulau Sumatra dan Jawa yang meski tak sebesar pada perairan sekitar Pulau Sulawesi dan Papua.
Ternyata, Indonesia tak hanya tanahnya saja yang bak surga dunia, karunia lautannya pun sedemikian besarnya. Selamat bertumbuh Indonesiaku.
Referensi :
Chong , H.Y. dan Lam, W.H., 2013, Renewable energy in Malaysia : The potential of the Strait of Malaca, Elsevier, Renewable and Suistainable Energy Reviews, p 169-178
Quirapas, M.A., Lin, H., Abundo, M.L., Brahim, S., & Santos, D., 2015, Ocean renewable energy in Southeast Asia : A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews 41, 799-817
Rajagopalan K. dan Nihous G.C., 2013, Estimates of global Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC) resources using ocean general circulation model, Elsevier : Renewable Energy 50 p. 532-540